Senin, 11 Juni 2012

Sahabat dalam Kerinduan

Di atas kertas putih yang sudah tak bisa kusentuh ini, aku menuliskan tentang seseorang yang kini hanya tinggal kerinduan dan namanya yang menyeruak. Seseorang yang kira-kira kehidupannya tidak jauh berbeda denganku. Seseorang yang senantiasa menyemangati diriku walau aku baru menyadari betapa rapuhnya ia sendirian tiada yang menemani dan menyemangati.
Saudaraku ini adalah orang hebat. Seseorang yang baru 2 tahun aku mengenalinya. Meski baru benar-benar mengenalnya sejak 6 bulan yang lalu. Ya, 6 bulan yang lalu. Sisa 18 bulan adalah waktu yang telah ku siasiakan baginya untuk lebih mengenalnya.
Begitu banyak kesamaan diantara kita. Aku dan dia adalah satu-satunya dari keluarga kami yang bisa mengenyam pendidikan tinggi yang mahal ini dengan beasiswa yang sama. Kami sama-sama memiliki tanggungjawab besar kepada adik-adik kami. Kami sama-sama bermimpi membahagiakan orang tua yang masih kami miliki.  Banyak kesamaan lainnya antara aku dan dia. Namun, ada hal yang sampai saat ini bahkan aku belum bisa meniru darinya. Dia adalah sosok yang tidak pernah mengeluh. Baginya tangan di bawah adalah pantangan dan sangat ia hindari seburuk apapun kondisinya. Ya Allah, begitu kokohnya ia memegang kehormatan keimanan dan dirinya. Subhanallah. Dia adalah sosok yang sangat ingin mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain.  Dia juga orang yang senang mencari solusi bagi permasalahan bangsa dan permasalahan sekitarnya. Masih teringat saat kunci pintu kamar mandi kontrakan kami mengalami kerusakan, beliau langsung berinisiatif memperbaikinya tanpa babibu dan macam-macam. Ya Allah, semoga Engkau memberikan yang terbaik bagi saudaraku ini.
Berbicara tentang dia, ada hal yang lebih berkesan buatku diantara deretan kebiasaannya yang unik dan selalu ku kenang adalah tentang impian kami. Dia punya impian menjadi menteri. Aku pun punya impian untuk menjadi staff ahli bagi dia kelak jika impiannya tercapai. Kita sama-sama berencana untuk pindah ke rumah kontrakan binaan yang baru pada hari ini. Tapi, Allah punya kehendak lain. Allah menjemputnya kembali ke hadiratNya pada saat dimana aku bahkan belum bersua dengannya dari kesibukan aktifitasku saat itu. Sungguh bagai tersambar petir di siang bolong aku mendengar kabar kepergiannya yang begitu mendadak dan mengejutkan semua orang. Ya Allah, begitu berat ujianMu. Yang paling menimbulkan kecemasan dan kesedihanku adalah sosok umminya.Ummi yang kini telah ditinggal oleh anak kesayangannya dan oleh suaminya yang juga sudah lebih dahulu menemui Rabbnya. Ummi sosok yang bersahaja, apa adanya dan ibu yang sejati untuk anak-anaknya. Belum pernah aku melihat keberbaktian seorang anak seperti yang dilakukan oleh saudaraku ini kepada ibunya. Ya Allah, aku merasa malu kepadaMu karena belum bisa berbuat seperti itu kepada orang tuaku. Semoga Engkau mengampuniku. 
Tapi begitulah kehidupan. Begitulah janjiNya. Janji yang pasti akan ditepatiNya.  Saudaraku, semoga engkau tenang di sana. Aku pasti akan menyusulmu. Itu pasti walau hanya Allah yang tahu kapan masanya. Saudaraku, hari ini aku berazzam dalam hatiku bahwa aku akan terus berusaha untuk lebih baik dalam kebaikan dan membiarkan aktivitasku mengalir di samudera kehidupan. Samudera yang penuh tantangan dan harus dilalui dengan penuh keteguhan seperti yang pernah engkau katakan padaku.
Saudaraku, sangat senang bisa mengenalmu dan membagi segala yang aku bisa bersamamu. Kini aku tahu banyak hal, bahwa benar katamu, saat perpisahan terjadi disanalah akan terasa segalanya berbeda dan sangat berkesan. Akhi, ana uhibbuka fillah. Persaudaraan yang dipersatukan karena Allah dan hanya Allah pula yang telah memisahkan kita. Kita tidak berpisahkan akhi? Hanya saja mencoba adil untuk berbagi kesempatan bersua dengan yang lain. Ya Allah, ampunilah saudaraku dan berilah ia tempat terbaik disisiMu. Ya Allah, tabahkan dan kokohkan hati orang yang ditinggalkannya.

Rabu, 08 Februari 2012

Kerinduan yang menyeruak (bag 1)

Pagi ini, hari berjalan seperti biasanya. Cahaya mentari menampakkan dirinya di balik gunung Salak. Semilir angin pagi nan sejuk sejenak menyergap dalam dadaku. Dalam-dalam ku nikmati karunia Allah ini. Mungkin suatu hari kelak aku tidak akan lagi bisa bernafas jika Allah menghendaki aku segera kembali padaNya. Terus ku nikmati sembari memuji kebesaran dan kasih sayang Rabb sekalian alam. Mentari sedikit-sedikit menyentuhkan lembut rasa hanyatnya bagi seluruh penduduk bumi saat itu. Sentuhannya sangat lembut membelai kulitku dan menghadirkan rasa tenang dan nyaman.  Akhirnya benarlah sudah ayat Allah  dalam surah Ar-Rahman, Maka Nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan? Sungguh sebuah teguran bagi kita yang senantiasa lupa pada Nya. 
Dari lantai dua di sebuah rumah di Bogor ini, tiba-tiba pikirku melayang ke sebuah rumah dari kayu nan sederhana di Sumatera Barat sana. Rumah yang menjadi tempatku dilahirkan dan dibesarkan selama 17 tahun masa hidupku. Rumah yang kini hanya dihuni oleh ayah, ibu, dan dua adikku. Tanpa aku di sana.
"Apa yang sedang terjadi di sana? Apakah adik-adikku sudah besar sekarang? Apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?" Sontak pertanyaan ini berkelebat di kepalaku. Meneteslah airmataku secara perlahan. Mengalir tanpa hambatan. Sesegeranya aku ambil telepon genggamku. Ku coba hubungi satu-satunya nomor yang ada di rumahku, yaitu nomor hape ayah.  Tak lama kemudian, terdengar sebuah suara yang sangat ku kenal. Suara yang dulu membangunkanku saat subuh menjelang. Suara yang senantiasa memberi nasehat di telingaku. Ya , itu ayahku..... (to be continued)