Pagi ini, hari berjalan seperti biasanya. Cahaya mentari menampakkan dirinya di balik gunung Salak. Semilir angin pagi nan sejuk sejenak menyergap dalam dadaku. Dalam-dalam ku nikmati karunia Allah ini. Mungkin suatu hari kelak aku tidak akan lagi bisa bernafas jika Allah menghendaki aku segera kembali padaNya. Terus ku nikmati sembari memuji kebesaran dan kasih sayang Rabb sekalian alam. Mentari sedikit-sedikit menyentuhkan lembut rasa hanyatnya bagi seluruh penduduk bumi saat itu. Sentuhannya sangat lembut membelai kulitku dan menghadirkan rasa tenang dan nyaman. Akhirnya benarlah sudah ayat Allah dalam surah Ar-Rahman, Maka Nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan? Sungguh sebuah teguran bagi kita yang senantiasa lupa pada Nya.
Dari lantai dua di sebuah rumah di Bogor ini, tiba-tiba pikirku melayang ke sebuah rumah dari kayu nan sederhana di Sumatera Barat sana. Rumah yang menjadi tempatku dilahirkan dan dibesarkan selama 17 tahun masa hidupku. Rumah yang kini hanya dihuni oleh ayah, ibu, dan dua adikku. Tanpa aku di sana.
"Apa yang sedang terjadi di sana? Apakah adik-adikku sudah besar sekarang? Apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?" Sontak pertanyaan ini berkelebat di kepalaku. Meneteslah airmataku secara perlahan. Mengalir tanpa hambatan. Sesegeranya aku ambil telepon genggamku. Ku coba hubungi satu-satunya nomor yang ada di rumahku, yaitu nomor hape ayah. Tak lama kemudian, terdengar sebuah suara yang sangat ku kenal. Suara yang dulu membangunkanku saat subuh menjelang. Suara yang senantiasa memberi nasehat di telingaku. Ya , itu ayahku..... (to be continued)